Masabumi Hosono: Orang Jepang yang Selamat dari Titanic dan Dikritik Karena Itu

Pada tahun 1912, tragedi Titanic sangat mengubah sejarah umat manusia. Lebih dari 1.500 orang kehilangan nyawa mereka dalam perjalanan yang naas itu, sementara hanya beberapa ratus yang selamat untuk menceritakan kisah mereka. Di antara para penyintas, Masabumi Hosono, satu-satunya orang Jepang di kapal, menghadapi bukan hanya trauma dari kecelakaan kapal tetapi juga penghakiman kejam dari masyarakatnya.

Kisah Masabumi bukan hanya tentang bertahan hidup, tetapi juga tentang bagaimana nilai-nilai budaya dan sosial dapat membentuk narasi pribadi. Ia selamat dari bencana dengan keinginan sederhana untuk kembali kepada keluarganya, tetapi akhirnya dikenal sebagai pengecut di negara asalnya. Mengapa keputusan untuk hidupnya menimbulkan begitu banyak kebencian? Mari kita jelajahi perjalanan hidupnya, kritik yang ia terima, dan dampaknya terhadap hidupnya serta sejarah Jepang.

Siapa Masabumi Hosono?

Masabumi Hosono lahir pada tahun 1870 dan, sebelum Titanic, menjalani kehidupan biasa sebagai pegawai negeri di Jepang. Bekerja untuk Kementerian Perhubungan, ia dikirim ke Rusia dan Inggris untuk mempelajari sistem kereta api. Setelah menyelesaikan misinya, ia memutuskan untuk kembali ke Jepang dengan naik kapal paling terkenal pada masa itu: RMS Titanic.

Sebagai penumpang kelas dua, Masabumi berada di atas kapal ketika ia menabrak gunung es pada tanggal 14 April 1912. Di tengah kekacauan yang melanda dek kapal, ia melihat peluang untuk naik ke perahu penyelamat nomor 13, yang masih memiliki ruang. Termotivasi oleh keinginannya untuk bertemu kembali dengan istri dan anak-anaknya, ia mengambil keputusan yang menyelamatkan nyawanya, tetapi juga akan mencoreng reputasinya selamanya.

Masabumihosono

Beratnya Bertahan Hidup

Kritik di Jepang

Meskipun selamat dari kapal tenggelam, penerimaan cerita tentang dirinya di Jepang sama sekali tidak ramah. Pada waktu itu, kebajikan samurai — seperti keberanian, pengorbanan, dan kehormatan — masih sangat dihormati. Banyak yang percaya bahwa Masabumi seharusnya mengorbankan diri untuk menyelamatkan nyawa orang lain, seperti wanita dan anak-anak.

Perbandingan yang tidak terhindarkan adalah dengan sosok-sosok seperti Benjamin Guggenheim, seorang pebisnis Amerika yang konon menerima kematiannya dengan penuh martabat, memberi tempat bagi orang lain di perahu penyelamat. Bagi para kritikus Jepang, kelangsungan hidup Hosono dianggap sebagai pengkhianatan terhadap etika pengorbanan.

Akibat dalam Hidup Anda

Dampaknya sangat parah. Hosono disebut pengecut oleh media, kehilangan pekerjaannya di layanan publik, dan menghadapi tahun-tahun pengucilan sosial. Keluarganya juga menderita, menjadi sasaran aib publik selama beberapa dekade. Tekanan psikologis ini memiliki dampak yang berkepanjangan, tetapi dia berhasil membangun kembali sebagian dari hidupnya dengan mendapatkan pekerjaan di jaringan kereta api Jepang.

Hanya setelah kematiannya, pada tahun 1939, dan dengan perilisan film Titanic pada tahun 1997, kisahnya mulai dievaluasi ulang. Pemerintah Jepang, pada saat itu, menawarkan permintaan maaf resmi kepada keluarganya, mengakui perlakuan tidak adil yang diterima Hosono.

Masabumi Hosono: orang Jepang yang selamat dari Titanic dan dikritik karena itu

Mengapa Dia Begitu Banyak Dikritik?

Konteks Sejarah

Pada awal abad ke-20, Jepang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai nasionalis. Budaya Jepang mengidolakan pengorbanan dan pengabdian, konsep yang diwarisi dari kode kehormatan samurai, seppuku — bunuh diri ritual samurai — dan kamikaze dalam Perang Dunia Kedua memperkuat harapan ini untuk menempatkan kehormatan di atas kelangsungan hidup.

Hosono, however, acted instinctively as any human being would. He did not violate any universal ethical rules, but his actions were judged by the cultural standards of his time.

Sebuah Masalah Perspektif

Jika kita berhenti untuk merenung, bagaimana kita akan bereaksi dalam situasi hidup atau mati seperti di Titanic? Hosono melakukan apa yang akan dilakukan banyak orang: meraih kesempatan untuk hidup. Kritik terhadapnya lebih mencerminkan nilai-nilai masyarakat Jepang pada periode itu daripada moralitas pribadinya.

The Legacy of Masabumi Hosono

Hari ini, cerita Masabumi Hosono adalah pengingat kuat tentang bagaimana konteks budaya dapat memengaruhi penilaian dan narasi. Kasusnya berfungsi sebagai refleksi tentang kompleksitas moralitas dan beban harapan sosial.

Hosono tidak hanya menjadi korban kapal selam, tetapi juga dari zamannya. Selamatnya, alih-alih dirayakan sebagai kemenangan hidup, digunakan untuk menggambarkan nilai-nilai yang menghukum siapa pun yang memilih untuk hidup. Untungnya, beberapa dekade kemudian, kisahnya mulai ditafsirkan kembali, membawa kelegaan dan keadilan bagi ingatan keluarganya.

Seorang Penyintas yang Diam

Meskipun menghadapi kritik dan kesulitan, Masabumi Hosono tetap menjaga sebuah jurnal terperinci tentang pengalamannya di Titanic. Di dalamnya, ia mencatat pikirannya dan perasaannya, meninggalkan kesaksian berharga tentang peristiwa tragis itu. Jurnalnya kini merupakan dokumen bersejarah, yang membantu memahami tidak hanya bencana tersebut, tetapi juga tantangan yang dihadapinya setelah kembali ke Jepang.

Jika Anda berada di posisi Hosono, apakah Anda akan membuat keputusan yang sama? Atau akan mengorbankan diri untuk menyelamatkan orang lain? Kisah Masabumi mengingatkan kita bahwa, dalam situasi ekstrem, tidak ada jawaban yang mudah, hanya pilihan manusia.